Berharap ketidakistimewaan di Maret lalu tidak terulang, sehingga
mau tidak mau harus bekerja lebih ekstra lagi. Seperti awal Maret lalu, di awal
April ini saya pun menyusun beberapa target yang harus dicapai. Tidak muluk-muluk
tapi butuh keseriusan untuk mewujudkan. Ada beberapa target di bulan ini.
Tulisan harus dimuat di Media, Opini minimal sembilan, Esai satu, Resensi satu,
Puisi minimal sepuluh, Membaca buku minimal lima, Puasa sunah senin-kamis,
menghafal vocab B. Arab dan B. Inggris setiap hari 3 vocab baru. Target di atas
saya ikrarkan di Masjid Sunan Ampel, bersama kawan-kawan LA sekitar pukul 02:45
dinihari.
Malam pertama bulan April kemaren saya bersama kawan-kawan Laskar
Ambisius (LA) menghabiskan malam di Taman Jembatan Merah Plaza (JMP) dan
dilanjutkan di Makam Sunan Ampel. Di sana kami benar-benar tahu, betapa
berharganya waktu, terutama waktu pergantian bulan. Bahwa pergantian bulan
adalah waktu untuk mengevaluasi, merefleksi dan meresolusi makna.
Sepulang dari Ampel saya menjadi semakin terpacu. Terpacu untuk
lebih bijak lagi dalam memanfaatkan waktu. Saking semangatnya saya tidak menghiraukan
kesehatan. Meskipun tak makan sahur saya memaksakan diri untuk puasa. Alhamdulillah
kuat, memang sesuatu yang diniati baik, meskipun dirasa mustahil akan mendapat
hasil yang diinginkan.
Rabu, 03 April, saya mendapat kesempatan mengikuti seminar nasional
“Membingkai Kembali Islam di Indonesia” mewakili IPNU IAIN Sunan Ampel. Acara
tersebut diadakan dalam serangkaian dies natalis CSS MoRA. Bertempat di
Auditorium Sunan Ampel Surabaya. Hadir sebagai pemateri, Zuhairi Misrawi
(Pengamat Politik Timur Tengah yang gagasannya telah tersebar di berbagai
media, baik cetak maupun online).
Selain itu ada Henry Shalahuddin, seorang pengamat dan peneliti di
INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations).
Belakangan saya ketahui, ternyata Henri Shalahudin adalah putra kelahiran
Bojonegoro dan satu almamater dulu dengan saya di Mts At-tanwir dan sekarang tinggal
di Depok, Jawa Barat. Bedanya, ketika beliau sudah lulus (1989) saya belum
lahir. Pemateri ketiga adalah KH. Abdurahman Nafis (Ketua bidang fatwa MUI
Jatim).
Seru diskusinya, mengangkat bagaimana membingkai kembali islam di
Indonesia yang boleh saya katakan sebagai negara abal-abal. Negara islam bukan,
sekuler pun bukan. Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Demokrasi dirasa sudah sesuai dengan Indonesia yang merupakan negara majemuk,
terdiri dari berbagai ras, suku, etnis dan agama. Dengan pancasila sebagai asas
saya kira sudah terwakili dengan berbagai ideologi dari berbagai agama maupun.
Lima sila dalam pancasila sudah representative memakili segala bentuk kemajukan
bangsa.
Sebelum acara usai, saya keluar, ada jam kuliah.!
***
Hidup memang
untuk mengukir kenangan. Apapun kenangan itu pasti akan membekas dalam sanubari
setiap manusia. Untuk itu saya hendak mencipta kenangan yang sampai kapanpun
akan selalu saya ingat. Bersama yang dicinta mengukir kenangan di kota
Surabaya.
Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, 05 April 2013